Wartawan Bersuara, ‘Tapi Tak Didengar’ : Krisis Mental di Balik Profesi Mulia

Detiknarasi.com – Di balik setiap berita yang kita baca, ada sosok yang tak terlihat sedang mempertaruhkan lebih dari sekadar waktu dan tenaga.Bahkan ia mempertaruhkan nyawa, idealisme, dan kesehatan mental.

Dialah ‘wartawan’ : profesi yang sering dipuja dalam kata-kata, tapi justru dilukai dalam praktiknya.

Di era digital yang serba cepat dan penuh tekanan ini, wartawan menghadapi situasi yang kian pelik. Di satu sisi, mereka dituntut untuk terus menggali fakta, menjaga independensi, dan menyuarakan kebenaran. Namun di sisi lain, mereka harus menghadapi tekanan ekonomi, ancaman fisik, serangan digital, sensor editorial, bahkan intimidasi dari pihak-pihak yang merasa terusik oleh kerja jurnalistik yang jujur dan kritis.

Menjadi wartawan hari ini bukan hanya soal profesi, tapi juga perjuangan mental dan moral. Ketika suara mereka tak lagi didengar, ketika kritik dibalas dengan cibiran, bahkan ancaman, maka krisis pun pelan-pelan menjalar dalam senyap. Wartawan dipaksa memilih antara idealisme atau bertahan hidup. Antara menyuarakan yang benar atau menjaga relasi demi sesuap nasi.

Lebih miris lagi, banyak dari mereka diikat dengan kontrak kerja tahunan dengan nilai tak lebih dari tiga juta rupiah, namun dibebani tuntutan kerja loyalitas. Karya-karya jurnalistik mereka harus ‘menyenangkan’, dan tak boleh terlalu tajam (independent) , Selip sedikit kritis bisa berujung pemutusan kerja sama atau bahkan kriminalisasi.

Era ini memang keras, terutama bagi mereka yang memilih tetap tegak berdiri di jalan kebenaran. Bukan karena tak tahu resiko, tetapi karena cinta pada profesi, dan tanggung jawab moral pada masyarakat. Sayangnya, cinta dan idealisme sering kali tak cukup untuk membayar tagihan atau mengobati luka batin akibat tekanan yang terus-menerus menghantam.

Ironisnya, ketika para pejabat menutup telinga terhadap kritik, dan masyarakat mulai lebih menyukai sensasi dibanding informasi, wartawan perlahan kehilangan tempatnya. Mereka bersuara, namun seolah berteriak di ruang hampa.

Narasi ini hadir bukan hanya untuk menyuarakan keluhan. Ia adalah ruang kontemplasi, ruang perlawanan, dan ruang pengingat: bahwa profesi wartawan bukan sekadar pembuat berita, tetapi penjaga nurani bangsa. Dan ketika penjaga itu mulai goyah, maka kita semua sebenarnya sedang berada dalam ambang bahaya yang lebih besar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *